Definisi
Culture Shock
Istilah culture shock pertama kali
diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock
didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk
didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian,
misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan
di mana kita tidak perlu merespon.
Banyak definisi dari para ahli tentang
gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah
kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam
lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai
budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar
budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi
berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari
orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya
berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru,
sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.
Reaksi
pada culture shock
Reaksi terhadap culture shock bervariasi
antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang
berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:
- antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
- rasa kehilangan arah
- rasa penolakan
- gangguan lambung dan sakit kepala
- homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
- rindu pada teman dan keluarga
- merasa kehilangan status dan pengaruh
- menarik diri
- menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Tingkat-tingkat
Culture shock (u-curve)
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock,
dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur
menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat
tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada
pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh
harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di
mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan
bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai
dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture
shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi
frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak
sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai
mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat
penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang
dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu
menekan.
Fase penyesuaian, fase
terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya
barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll).
Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan
rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat
hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan
budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan
dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya
sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri.
Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur
yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata
yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada
penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan
terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk
pulang ke kampung halaman.
Derajat gegar budaya yang mempengaruhi
orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara
asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan
barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang
terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap
pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu
sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih
bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap
kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya,
ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri
pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya
kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak
menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol
dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi,
adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke
kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi
menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu atas
ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, “ini masalahku
dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir
lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup
yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau
kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan
sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri
pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung halaman
pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan dirindukan.
Contoh
Gegar Budaya
Program
internasional yang dibuka oleh bebarapa sekolah didunia membuka kemungkinan
adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar
bersama-sama ditempat yang merka datangi. Kerjasama yang diadakan oleh
pemerintah, seperti pertukaran pelajar ataupun pemberian beasiswa keluar negeri
menjadi salah satu penyebab Akulturasi Kebudayaan. Sebagai contoh adalah
sarapan pagi di Indonesia, sarapan pagi bagi kebanyakan orang Indonesia
menggunakan nasi, sehingga mereka akan merasa belum kenyang apabila belum
merasakan nasi di lambung mereka ketika sarapan pagi. Namun berbeda bagi mereka
orang luar negeri, misalkan Amerika Serikat. Mereka setiap sarapan pagi hanya
menggunakan roti dan susu. Hingga suatu saat ketika orang dari kedua Negara
bertemu mereka akan mengalai gegar budaya. Karena mereka harus sarapan dengan
makana yang tidak biasa mereka santap dipagi hari. Orang Indonesia akan
kesulitan dan merasa kurang kenyang apabila makan roti. namun sebaliknya, orang
Amerika akan merasa sangat kekenyangan apabila mereka makan nasi sebagai menu
sarapan paginya karena kandungan karbohidrat yang berlebihan.
1 komentar:
Posting Komentar