Pages

Subscribe:

Selasa, 25 September 2012

Sistem pers di Indonesia



Menurut saya dan beberapa referensi yang dibaca, Sistem pers yang ada di Indonesia menganut sistem pancasila dimana telah diatur di dalam undang-undang pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999. Didalam sistem tersebut terdapat hak dan kewajiban pers sebagai pendukung komunikasi antara masyarakat. Hak seseorang juga sangat dihormati sebagai privasinya yang tidak ingin diketahui dan pers berkewajiban untuk merahasiakan dan apabila dilanggar ada hukum yang mengatur hal tersebut. Didalam sistemnya ini, pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi. Manajemen pers di Indonesia saling berhubungan dengan fungsinya yang terbentuk saling mendukung. Dimana terdapat 3 pilar yang saling mendukung diantaranya:
1.      Idealisme
Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai:
a)      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b)      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan;
c)      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar;
d)     Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e)      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

2.      Komersialisme
Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas

3.      Profesionalisme
Profesianalisme adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut:
a)      Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya;
b)      Mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya;
c)      Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi;
d)     Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya;
e)      Memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya;
f)       Tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan atau keahlian tertentu
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.